20 Februari, 2008

PELAJAR MENOLAK TATA TERTIB?

Pagi-pagi, tayangan layar kaca televisi mengejutkan saya dengan pemberitaan ngamuknya para pelajar SMA Swasta "P" di Jogyakarta, yang memporak-porandakan fasilitas sekolah dan menuntut turunnya Kepala Sekolah mereka, karena dianggap "TERLALU DISIPLIN"?.

Padahal beberapa hari sebelumnya, di dalam perkuliahan saya kepada para Guru TK, SD, SMP dan SLTA yang sedang mengikuti program S1, muncul pertanyaan menarik dari salah satu mahasiswi (Guru SLTP) seperti ini ; "pak bagaimana caranya mengatasi kebandelan seorang siswa yang selalu membuat ulah, bahkan rambutnya sudah di cat merah".
Kemudian saya balik bertanya kepada penanya (untuk menyelidik) "apakah di sekolah Anda ada butir Tata Tertib Sekolah yang melarang siswa untuk mengecat rambut, selain hitam?". Nampaknya pertanyaan balik saya justru mengherankan penanya, bahkan seluruh mahasiswa di kelas perkuliahan tersebut. Agar tidak semakin membingungkan maka saya langsung menjelaskan, bahwa Tata Tertib Sekolah itu adalah "komitmen bersama seluruh anggota Masyarakat Sekolah" , sehingga saat penyusunannya harus melewati proses demokratis (bisa sistem perwakilan) yang mencerminkan semua unsur di dalam Masyarakat Sekolah itu. Sebaiknya penyusunan dan atau pembahasan Tata Tertib Sekolah dilaksanakan pada Rapat Kerja Sekolah pada saat pennyiapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), karena Tata Tertib Sekolah adalah bagian dari KTSP itu sendiri. Hampir seluruh cetak biru yang bernama KTSP ini, akan menjadi tuntunan operasional penyelenggaraan proses pendidikan di sekolah, seperti arti dari "kurikulum" itu sendiri. Komite Sekolah secara aktif menjadi bagian yang seharusnya mendorong terciptanya proses perubahan Paradigma Baru (New Paradigm) bahwa Sekolah harus menjadi tempat yang mampu mempelopori proses demokratisasi dan penegakkan HAM. Diawal reformasi dulu ada forum "Reformasi Pendidikan" yang secara aktif mencari formulasi untuk me "re-formasi"-kan masalah-masalah pendidikan di tanah air. Dan proses selanjutnya dari forum-forum seperti itu, sudah dapat kita tebak kelanjutan aktivitasnya yaitu "mati suri" alias bernyawa tapi tanpa makna, dan hal itu terjadi mudah-mudahan bukan karena saking sibuknya ketua forum.
Jadi idealnya, bukan hanya Tata Tertib Sekolah yang harus dijalankan "bersama" akan tetapi seluruh komponen di dalam KTSP yang telah disyahkan didepan Rapat Kerja Sekolah serta disetujui oleh pihak Dinas Pendidikan setempat juga harus diamankan agar tetap bisa berjalan (sesuai dengan proporsi dan tanggung jawab masing-masing unsur, termasuk peserta didik dan Guru serta Kepala Sekolah, Orang Tua Siswa, bahkan Penjaga Sekolah dan Bapak-Ibu Penjual makanan di Kantin Sekolah sekalipun). Memang ada prasyarat yang harus dipenuhi di dalam pemberlakuan ketetapan bersama seperti Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan juga berlaku bagi ketetapan KTSP tersebut yaitu, kewajiban pihak tertentu (sekolah) untuk mengundangkannya atau mensosialisasikannya kepada setiap elemen dari unsur pembentuk masyarakat sekolah.
Bahkan di suatu sekolah di bilangan jalan Kramat Raya Jakarta yang saya temui (sekolah yang berkualitas bagus dan sangat dikenal oleh masyarakat) mencantumkan butir Tata Tertib Sekolah yang berbunyi "Peserta didik yang kedapatan menyontek saat ujian/ulangan berlangsung, bersedia dikelaurkan dari sekolah", dan setiap Orang Tua maupun Peserta didik bersangkutan menandatangani tanda persetujuannya.
Jangan lupa Pelaksanaan KTSP termasuk di dalamnya melaksanakan dan mengamankan "mutu hasil belajar" yang sudah ditetapkan di dalam Kriteria Kompetensi Minimal (KKM) tiap Mata Pelajaran. Seringkali pihak "sekolah" secara sepihak menganulir KKM dengan cara menurunkan Batas Minimal Kompetensi untuk "mengkatrol" nilai peserta didik yang tidak kompeten, pada Rapat Pleno Penetapan Kenaikan Kelas atau Kelulusan yang dipimpin oleh Kepala Sekolahnya. Sehingga saat peserta didik mengantarkan Orang tuanya untuk megambil rapor kepada WaliKelas-nya, yang semula merasakan "stress berat" karena takut gagal (tidak naik kelas atau tidak lulus), namun setelah melihat rapornya, peserta didik bersangkutan justru terheran-heran sambil bergumam "Lho kok naik kelas ya, padahal menurut perhitungan hasil ulangan harian, nilai tugas, dan nilai ulangan umum (blok), seharusnya aku nggak naik kelas". Maka sang peserta didik yang baru membaca dokumen rapor dengan predikat naik kelas atau lulus, berkata lagi " Yaah ...Maradona saja boleh berkata "tangan tuhan" yang digunakan untuk menceploskan bola ke gawang lawan saat tim Argentina menjuarai Piala Dunia, kenapa saya tidak, toh sama-sama keputusan yang salah dari wasit yang memimpin pertandingan saat itu ataupun keputusan rapat pleno penetapan kenaikan kelas saya, toh sama-sama tidak dapat di ralat lagi, pokoknya gue naik kelas, titik!".
Mungkin kita semua tidak menyadari bahwa kejadian seperti ini, merupakan awal muasal dari peristiwa yang sangat mengerikan kita semua sebagai bangsa, yaitu runtuhnya pendidikan moral kejujuran sekaligus "Pendidikan Korupsi".

Kejadian ngamuknya para pelajar SMA Swasta "P" di Jogyakarta, memang tidak terlepas dari berbagai pengaruh, termasuk peneladanan perilaku dan figur yang membanggakan (remaja). Pada kesempatan ini saya tidak ingin mengembangkan masalah perkembangan psikologi remaja sebagai salah satu penyebab tidak patuhnya peserta didik pada ketetapan hukum (Tata Tertib Sekolah) . Sorga milik Sang Maha Suci saja ada TATA TERTIB-nya, silahkan buka kitab suci, kita akan menemukan pembelajaran mengapa Adam As dan Ibu Hawa dikeluarkan dari Sorga yang menjadi idaman setiap manusia, jawabannya karena Adam dan Hawa telah melanggar TATA TERTIB sorga (mendekati bahkan memakan buah "kuldi"). Namun janganlah lalu kita pakai hal itu sebagai pembenaran bahwa setiap anak cucu Adam juga boleh melanggar TATA TERTIB/HUKUM/ATURAN/KESEPAKATAN.

Oleh karenanya perlu pula kita renungkan bersama, bahwa selain lemahnya proses sosialisasi Tata Tertib Sekolah, masalah moral, keimanan dan kejujuran adalah nafas dari pendidikan itu sendiri.
Pendidikan tanpa peneladanan kejujuran adalah kebohongan, dan kebohongan adalah kejahatan!, baru titik!.
Diperlukan analisis yang mendalam terhadap berbagai kasus serupa, seperti kejadian diberbagai daerah dengan ngamuknya para mahasiswa yang meluluh-lantakkan kampusnya sendiri sebagai refleksi ketidak puasannya.

18 Februari, 2008

SEPINTAS KONDISI PENDIDIKAN KITA

Laporan dari United Nations Development Program (UNDP) tahun 2008, menunjukkan posisi Human Delopment Indeks (HDI) kita masih berada pada peringkat 107 dari 177 negara yang diteliti (http://hdr.undp.org/en/statistics/). Atau masuk dalam kelompok Medium Human Development pada daftar : 2007/2008 Human Development Index rankings, yang dihuni oleh Negara-negara dengan peringkat 71 sampai dengan 155. Seutuhnya peringkat 177 negara yang diteliti tersebut adalah sebagai berikut:
High Human Development
1. Iceland
2. Norway
3. Australia
4. Canada
5. Ireland
6. Sweden
7. Switzerland
8. Japan
9. Netherlands
10. France
11. Finland
12. United States
13. Spain
14. Denmark
15. Austria
16. United Kingdom
17. Belgium
18. Luxembourg
19. New Zealand
20. Italy
21. Hong Kong, China (SAR)
22. Germany
23. Israel
24. Greece
25. Singapore
26. Korea, Rep. of
27. Slovenia
28. Cyprus
29. Portugal
30. Brunei Darussalam
31. Barbados
32. Czech Republic
33. Kuwait
34. Malta
35. Qatar
36. Hungary
37. Poland
38. Argentina
39. United Arab Emirates
40. Chile
41. Bahrain
42. Slovakia
43. Lithuania
44. Estonia
45. Latvia
46. Uruguay
47. Croatia
48. Costa Rica
49. Bahamas
50. Seychelles
51. Cuba
52. Mexico
53. Bulgaria
54. Saint Kitts and Nevis
55. Tonga
56. Libyan Arab Jamahiriya
57. Antigua and Barbuda
58. Oman
59. Trinidad and Tobago
60. Romania
61. Saudi Arabia
62. Panama
63. Malaysia
64. Belarus
65. Mauritius
66. Bosnia and Herzegovina
67. Russian Federation
68. Albania
69. Macedonia, TFYR
70. Brazil
Medium Human Development
71. Dominica
72. Saint Lucia
73. Kazakhstan
74. Venezuela, Rep. Bov.
75. Colombia
76. Ukraine
77. Samoa
78. Thailand
79. Dominican Republic
80. Belize
81. China
82. Grenada
83. Armenia
84. Turkey
85. Suriname
86. Jordan
87. Peru
88. Lebanon
89. Ecuador
90. Philippines
91. Tunisia
92. Saint Vincent and the Grenadines
93. Fiji
94. Iran, Islamic Rep. of
95. Paraguay
96. Georgia
97. Guyana
98. Azerbaijan
99. Sri Lanka
100. Maldives
101. Jamaica
102. Cape Verde
103. El Salvador
104. Algeria
105. Viet Nam
106. Occupied Palestinian Territories
107. Indonesia
108. Syrian Arab Republic
109. Turkmenistan
110. Nicaragua
111. Moldova
112. Egypt
113. Uzbekistan
114. Mongolia
115. Honduras
116. Kyrgyzstan
117. Bolivia
118. Guatemala
119. Gabon
120. Vanuatu
121. South Africa
122. Tajikistan
123. São Tomé and Principe
124. Botswana
125. Namibia
126. Morocco
127. Equatorial Guinea
128. India
129. Solomon Islands
130. Lao, People’s Dem. Rep.
131. Cambodia
132. Myanmar
133. Bhutan
134. Comoros
135. Ghana
136. Pakistan
137. Mauritania
138. Lesotho
139. Congo
140. Bangladesh
141. Swaziland
142. Nepal
143. Madagascar
144. Cameroon
145. Papua New Guinea
146. Haiti
147. Sudan
148. Kenya
149. Djibouti
150. Timor-Leste
151. Zimbabwe
152. Togo
153. Yemen
154. Uganda
155. Gambia
Low Human Development
156. Senegal
157. Eritrea
158. Nigeria
159. Tanzania, U. Rep. of
160. Guinea
161. Rwanda
162. Angola
163. Benin
164. Malawi
165. Zambia
166. Côte d’Ivoire
167. Burundi
168. Congo, Dem. Rep.
169. Ethiopia
170. Chad
171. Central African Republic
172. Mozambique
173. Mali
174. Niger
175. Guinea-Bissau
176. Burkina Faso
177. Sierra Leone
Peningkatan satu digit dari peringkat HDI di hampir setiap tahunnya, selain dinilai sangat lamban, juga sungguh memprihatinkan kita semuanya, mengingat pada tahun tahun ke depan akan semakin banyak tambahan negara yang ikut serta diteliti.
Penilaian HDI dari UNDP ini, didasarkan pada rerata tingkat harapan hidup, tingkat pengetahuan, tingkat melek huruf, jumlah anak yang memperoleh pendidikan serta kebutuhan harian penduduk yang diukur berdasar GNP Negara yang diteliti.
Data peringkat perguruan tinggi di dunia tahun 2004 yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, menunjukkan bahwa bahwa dari 500 peringkat perguruan tinggi di dunia, dan 100 peringkat Perguruan Tinggi di Asia, tidak satupun di dalamnya terdapat perguruan tinggi Indonesia. Namun data akhir yang bersumber dari Times Higher Education menunjukkan peringkat perguruan tinggi di dunia tahun 2006, di dalamnya telah ditemui 1 perguruan tinggi Indonesia berada di peringkat 200 dunia, atau 4 Perguruan Tinggi Indonesia berada di peringkat 200-500 dunia. Sementara peringkat atas perguruan tinggi terbaik di dunia masih dipegang oleh Harvard University, Cambridge University dan MIT di Amerika Serikat.
Pada tahun ini, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas telah menerbitkan “50 promising Indonesia University 2006” yang di dalamnya terdapat 26 perguruan tinggi negeri dan 24 perguruan tinggi swasta, serta 7 perguruan tinggi di antaranya berada di provinsi DKI Jakarta. Semoga di dalam 100 promising Indonesia University 2007 mendatang, akan semakin banyak lembaga pendidikan tinggi DKI Jakarta masuk di dalamnya. Marilah kita berikan apresiasi yang tinggi kepada Perguruan Tinggi yang tergugah meraih kembali kepercayaan dari “stake-holder” nya (public accountability), sekaligus sebagai pembiasaan berpikir dan bertindak dalam menghormati dan menegakkan “Budaya Mutu” di kalangan masyarakat luas.
Sejumlah tantangan yang ada dihadapan kita hendaknya justru mampu membangkitkan motivasi kita untuk bangkit menghadapinya. Kita harus yakin dan percaya bahwa dengan kerja keras yang didasari oleh iman dan taqwa, seluruh permasalahan bangsa ini dapat kita selesaikan. Apalagi dihadapan forum ini telah dilahirkan sejumlah ahli –ahli ekonomi yang telah siap menggantikan era keberhasilan seniornya di awal pemerintahan Orde Baru dengan “Wijoyonomic”-kelompok Barkeley-nya, dan kita berharap muncul era “Budiyono_nomic” yang lebih siap bertarung memberdayakan masyarakat kita saat ini.
Era globalisasi sebenarnya tidak lain adalah era liberalisasi ekonomi yang ternyata telah merambah di semua sektor kehidupan nyata. Kondisi faktual ini tidak mungkin lagi dihindari, akan tetapi harus disikapi dengan meningkatkan potensi diri pada setiap individu bangsa ini, melalui proses KEMANUSIAAN yang MEMANUSIAKAN MANUSIA secara MANUSIAWI yaitu PENDIDIKAN!.

Cijantung, Medio 18 Februari 2008, Darsana Setiawan.

17 Februari, 2008

AKAD BANGSA MERDEKA

Akad dalam bahasa aslinya (Arab) berarti ikatan, dan demikian pula makna dalam bahasa Indonesia. Semisal Akad nikah, artinya mengikatkan diri melalui suatu statement (janji) di hadapan Allah dan disaksikan oleh Penghulu serta Wali nikah, bahwa dirinya tunduk/terikat dengan seluruh ketentuan pernikahan yang mengaturnya.Bangsa ini sudah bertekad bulat untuk melakukan Akad (mengikat diri) untuk menjadi bangsa Indonesia yang Merdeka, dengan pernyataan (Proklamasi) yang dibacakan atas nama bangsa Indonesia oleh Soekarno-Hatta, tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta. Setiap tanggal 17 Agustus, kita memperingati hari ulang tahun pernyataan Akad (ikrar/ proklamasi) sebagai bangsa Merdeka, tentu dengan doa dan harapan hari esok lebih baik dari hari ini. Itu pula sebabnya sebagai bagian dari bangsa merdeka, sekaligus sebagai hamba Tuhan, kita wajib mencerdasi keadaan dengan senantiasa berupaya untuk menjaga, memelihara dan mengisi secara positif perjalanan panjang pernyataan Akad kita.
Dalam situasi bangsa kita sedang prihatin seperti sekarang, janganlah berperilaku dan berpenampilan seperti "NGOBONG-OBONG DAMI MONGSO KETIGO" (membakar-bakar jerami dimusim panas!), karena hal itu dapat diartikan sebagai upaya untuk MEMBAKAR dan atau mengingkari pernyataan akad bangsa.Jiwa atau Qolbu yang sehat dan kuat dari seseorang, akan senantiasa berupaya "memberi" (termasuk memberi solusi) untuk kebaikan sesama bangsanya, dan tidak selalu "meminta" atau menuntut dan menuntut serta menuntut tiada henti.Bagaimanapun tangan di atas (yang memberi) itu tetap lebih baik dibanding tangan di bawah (yang meminta), itulah esensi tuntutan agama (Islam) yang mayoritas dipeluk bangsa kita.
Ternyata......John F Kennedy (mantan presiden AS), memang lebih dikenal dengan warisan wasiatnya yang berbunyi, "Janganlah engkau bertanya kepada negara tentang apa yang engkau peroleh, tapi bertanyalah terlebih dahulu kepada dirimu tentang apa yang telah engkau berikan kepada bangsa dan negaramu", dan ucapan itu memang sangat Islami.
Lho kok?.

Jakarta, medio tengah Februari, 2008. Darsana Setiawan.

15 Februari, 2008

PEMBERDAYAAN PENGAWAS SEKOLAH?

Saat ini gema aktivitas Guru di sekolah masih berkisar pada pengisisan dan hasil penilaian portofolio untuk memenuhi kriteria perolehan "sertifikasi guru". Bagi mereka yang isian portofolio-nya memenuhi kaidah dari Direktorat Jenderal Pembinaan Mutu Tenaga Kependidikan Depdiknas, akan memperoleh "ponit" guna pencapaian jenjang "Guru Teregistrasi" atau "Guru Profesional" dengan reward penambahan kesejahteraan berdasar sekian kali skala gaji yang pernah diterimanya.

Apabila banyak keluhan yang muncul dari kalangan guru di sekolah, terlebih karena rendahnya daya serap informasi melalui proses sosialisasi yang tereduksi oleh strata birokrasi.
Kemungkinan lain memang ada, semisal kebijakan lokal di tingkat kabupaten/kota (Dinas Pendidikan setempat) yang dirasakan belum memenuhi azas keterbukaan serta keadilan.
Seorang guru SMP Negeri di sebelah timur dari Jakarta Timur, sempat mempertanyakan mengapa "guru itu" yang memperoleh kesempatan pertama untuk mengisi portofolio (kalau memang ditunjuk oleh...siapa? jawabannya nggak pernah jelas, apalagi dasar keputusannya). Kenapa bukan "guru yang ini" karena dari sudut pandang teman-teman di sekolah jelas lebih layak. Kalimat tersebut mencerminkan adanya reduksi informasi tentang kebijakan lokal yang sebenarnya ditempuh justru dengan tujuan serta semangat "MEMPERBAIKI KONDISI GURU".
Kekurangan dalam implementasi perdana dari suatu sistem/program memang selalu saja ada kekurangannya, sebagai contoh kasus; Seorang guru yang akan melengkapi isian format portofolio, harus mencari, memohon dan meminta belas kasihan kepada pengawas sekolahnya untuk memperoleh rekomendasi (guru profesional) pada format bersangkutan.
Sementara ada pertanyaan yang muncul dan mengganjal di hati kita "apakah pengawas sekolahnya(supervisor sekolahnya) sudah memenuhi kaidah profesional, manakala memperoleh otoritas memberikan rekomedasi portofolio untuk melahirkan seorang guru profesional??".
Yang lebih celaka adalah pengawas sekolah (supervisor sekolah) yang BELUM PERNAH MENJADI GURU, namun merekomendasi kinerja guru, hanya karena ingin menyelamatkan kolega (Eks pejabat struktural) agar bisa memperpanjang usia pensiun ke 60 tahun. Pelecehan terhadap jabatan pengawas/supervisor seperti inilah yang semestinya menjadi SKALA PRIORITAS UNTUK SEGERA DIAKHIRI!

Tulisan ini BUKAN dimasudkan untuk memojokkan jabatan Pengawas Sekolah (Supervisor Sekolah) namun malah sebaliknya mengingatkan kepada kita semua, BAHWA JABATAN PENGAWAS/SUPERVISOR SEKOLAH BUKANLAH SEKEDAR PELENGKAP PENDERITA dari suatu sistem persekolahan di Republik ini (yang katanya sudah direformasi, sudah direformulasi dan sudah direstrukturisasi), atau MALAH BELUM ??. Wallahualam bisawab,....namun tetap harus ada kejelasan, mengingat hal ini menyangkut banyak orang dalam suatu megasistem MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DI SEKTOR PENDIDIKAN.
bRAVO pENGAWAS sEKOLAH!.

Mengakhiri Nopember 2007, Salam Guru, DS.

PENDIDIKAN HUMANIS


Sistem Pendidikan Indonesia sedang berproses menuju cara pandang baru (New Paradigm) yang lebih humanis (dengan mengedepankan hak-hak pembelajar) serta lebih demokratis, namun sekaligus juga lebih berorientasi pada perkembangan ICT (Information-Communication and Technologie). Soedjatmoko, sebagai tokoh Humanitarianisme, dalam S.Masruri (2005), mengungkapkan ; perlunya kita semua menghindari ekses moral dari tekanan ICT yang hampir tak terkendali, dengan cara melibatkan banyak pihak yang peduli (kaum agamawan dan kaum budayawan) untuk secara bersama membangun sistem pendidikan yang didinginkan.


Melalui sistem pendidikan yang seperti itu diharapkan manusia dan masyarakat Indonesia terdidik, akan menjadi manusia yang “serba tahu” (well informmed) , memiliki komitmen yang tinggi (well commited), yang mampu menerapkan long life learning disertai kesadaran yang tinggi tentang keadilan sosial.Untuk mewujudkan upaya pembaharuan sistem pendidikan yang humanis, menuntut berbagai pendekatan inovatif untuk memperluas proses belajar yang mampu menembus “tembok besar konvensional”. Patut disayangkan bahwa dari beberapa dekade pembangunan pendidikan kita di tanah air, “kekurangan” (kalau tidak mau disebut kegagalan) justru terletak pada ketidakpercayaan masyarakat itu sendiri untuk ikut berpartisipasi dalam program dimaksud. Contoh kasus sebagai indikasi adanya bukti terhadap hal ini ditayangkan oleh media televisi kita di minggu kedua bulan Desember 2007, “adanya sekelompok masyarakat yang secara bersama dan beramai-ramai merusak gedung sekolah” dan notabene gedung sekolah tersebut justru dibangun dari dana masyarakat itu sendiri (APBD). Mereka seolah tak merasa ikut memiliki proses pendidikan yang berlangsung (sense of belonging), padahal bukan tidak mungkin anak-anak mereka sendiri ada yang menjadi peserta didik dari sekolah yang dirusaknya. Tantangan dari proses belajar masyarakat terhadap “perubahan” dapat ditengarai antara lain “tertutupnya kesediaan diri untuk menerima perubahan” (tidak munculnya hasrat untuk berubah), rendahnya komitmen terhadap adanya perubahan, serta rendahnya keterlibatan masyarakat terhadap program perubahan (sense of responsibility). Oleh karenanya proses belajar sosial kemasyarakatan yang harus diprioritaskan sebagai WAJAH BARU KEBIJAKAN PENDIDIKAN KITA adalah kebijakan publik yang mengedepankan INOVASI SOSIAL dan PEMBERDAYAAN MASYARAKAT, sehingga menemukan hal-hal baru bagi upaya nyata KELUAR DARI JEPITAN KEMISKINAN. Patut dicermati pemikiran yang mencerdasi dan mengkritisi masalah ini, dengan pernyataan bahwa “salah satu ciri utama dari model pembangunan pada beberapa dekade terakhir adalah BERKEMBANGNYA KEYAKINAN DIRI DARI MEREKA YANG SECARA TRADISIONAL TIDAK BERDAYA DAN TERSINGKIR KARENA PROSES PERUBAHAN (PEMBANGUNAN) ITU SENDIRI. Mengapa demikian, karena “semua upaya perubahan (pembangunan) tidak akan membawa manfaat jangka panjang TANPA PEMECAHAN MASALAH KEMISKINAN ITU SENDIRI”. Ini mungkin simpul-simpul akhir dari esensi pendidikan humanis, yang berupaya memberdayakan manusia secara manusiawi agar menjadi manusia sesungguhnya (seutuhnya), karena pastilah Tuhan tidak menciptakan hambaNya untuk teraniaya, apalagi oleh suatu sistem terstruktur yang dibuat oleh hambaNya yang lain. Kita memang membutuhkan suatu sistem pendidikan yang berpihak pada kebutuhan kemanusiaan, yaitu manusia berdaya. Manusia yang mampu melawan segala upaya yang memperdaya dirinya dari kesejahteraan sosial, kesejahteraan moral dan kesejahteraan spiritualnya.


Dengan “bersama” semoga harapan kemanusiaan tersebut, bukanlah utopia!.Bukankah Tuhan Maha Tahu atas keinginan hambaNya?.


Jakarta, bulan akhir tahun 2007. Salam saya DS

14 Februari, 2008

PENGANTAR

Blog IKATAN ALUMNI UNIVERSITAS TERBUKA JAKARTA (IKA UT Jakarta) ini, disajikan untuk menggalang interaksi komunikasi virtual bagi para alumni, tanpa dibatasi oleh tempat ruang dan waktu. Sangat disadari betapa sulitnya meluangkan waktu "silaturochim" antar alumni, sehingga tanpa pula disadari sang waktu terus berlalu, seolah tak ada lagi bekas jejak dari fondasi keberhasilan kita saat ini, adalah buah dari salah satu benih yang ditanam pada ladang subur pendidikan tinggi UNIVERSITAS TERBUKA.
Kacang memang tidak akan mampu melupakan kulitnya, karena sang Kacang juga tidak mampu menginterpretasi "diri"-nya, bahwa sebenarnya terdapat potensi kehidupan yang sangat bermakna dibalik untaian ganda "Adeno De-oxyribo Nucleat (ADN) dalam setiap inti sel biji kacang", yang manakala di tanam kembali pada ladang subur serta lingkungan kehidupan yang memadai, muncullah kehidupan baru selanjutnya. Seperti itu pula rithmis kehidupan kita, manakala tanpa diberi makna oleh pelaku yang sekaligus penulis skenario kebebasan hidup duniawi yaitu sang "aku".
Kepercayaan diri (self confidence) yang tumbuh dari dalam setiap pribadi, memang sangat dipengaruhi oleh bekal alamiah ADN (potensi) dari kedua orang tua kita, namun teori konvergensi genetic juga membuktikan besarnya pengaruh lingkungan dan kebiasaan yang dibingkai dalam konfigurasi budhaya, mampu memberikan pengaruh bagi lahirnya keutuhan pribadi dengan hasil eksplorasi Kompetensi-nya .
Semoga uluran tangan interkoneksi dalam blog ini, memperoleh tempat tersendiri di hati para alumni dari perguruan tinggi yang pernah membesarkan kita, UNIVERSITAS TERBUKA.
Kami penunggu blog menunggu beserta segenap pemangku amanah di dalam kePENGURUSAN IKA UT JAKARTA dengan segenap ketulusan hati, menunggu kesediaan anda para alumni UT untuk berbagi dalam nurani, ikut mengisi, mengkritisi, mengevaluasi atau meregulasi sekalipun blog serta aktivitas kami.
Salam hormat dari segenap Pengurus IKA UT Jakarta.